Jurnalperempuan.com-Jakarta. Belajar tentang diri (self) menjadi salah satu pondasi penting dalam mempelajari feminisme. Berangkat dari pemahaman tentang diri tersebut, pemilahan individu sebagai perempuan dan laki-laki menjadi lebih gamblang. Dengan demikian formasi sistem bentukan masyarakat yang diskriminatif terhadap salah satu jenis kelamin tertentu diharapkan lebih jernih terbaca.
Manager Program Yayasan Jurnal Perempuan Mariana Amiruddin bersama Editor Jurnal Perempuan Mikael Johani memandu materi itu di hari pertama workshop feminisme yang digagas YJP dengan tajuk “Bagaimana Menjawab Persoalan Perempuan”.
Mariana memulai dengan menceritakan pengalamannya dianggap aneh karena, sebagai anak perempuan, ia gemar berenang dan memanjat pohon. “Anak perempuan, menurut mereka, tidak memanjat pohon, tidak suka berenang, dan harusnya suka memakai rok,” paparnya dalam workshop yang digelar di kantor YJP dan akan berlangsung sejak 9 sampai dengan 20 April 2007 tersebut.
Peserta yang berjumlah sekitar 20-an pun diminta berbagi pengalaman dibedakan karena jenis kelamin perempuan. Berbagai pengalaman hadir dari sejumlah peserta. Sebut saja Tasnim Jusuf yang bekerja di Yayasan Indonesia untuk Kemanusiaan merasa dilecehkan ketika nama yang disandangnya terdengar lebih lazim dipergunakan laki-laki. Di masyarakat, bahkan namapun, mengalami pengkotak-kotakan.
Sebaliknya, Ibnu Munzir. Peserta dari Pusat Krisis terpadu Fakultas Psikologi Universitas Indonesia ini dipaksa menjadi “gentlemen” oleh teman-teman perempuannya dengan cara membukakan pintu atau membawa barang belanjaan.
Dalam workshop yang baru pertama kali diadakan ini permainan juga dimanfaatkan sebagai wahana pemahaman. Permainan Role Play yang digelar membuat peserta lebih konkret merasakan perbedaan antara laki-laki dan perempuan.
Pengertian tentang feminisme tidak pernah seragam di kepala masing-masing orang. Demikian juga dengan peserta workshop ini. Diskusi terus ada sepanjang pertemuan. Salah satu di antaranya tentang kata kodrat. Tidak heran, pertemuan yang direncanakan berakhir pada pukul 11.00 WIB menjadi molor sampai sejam.
Baik Mariana maupun Mikael tidak keberatan dengan adanya pertanyaan dan perdebatan yang terus mengalir dari peserta. Hanya saja mereka mengingatkan, “ini baru pemanasan.” Esok dan 7 hari mendatang, masih ada aktivis dan akademisi lain yang akan berbagi pemahamannya tentang feminisme. Mereka di antaranya Gadis Arivia, Nur Iman Subono, Jaleswari Pramodhawardani, Melani Budianta, Sri Kusyuniati, dan yang baru-baru ini mendapat penghargaan International Courage of Women Musdah Mulia.*
Jurnalis: Henny Irawati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar