Jurnalis : Nur Azizah
JurnalPerempuan.com-Jakarta. Tanggal 5–19 Desember 2008 yang lalu Kementrian Negara Pemberdayaan Perempuan (Meneg PP) mengadakan kunjungan kerja ke negeri Belanda, tepatnya ke Tropenmuseum Tropical Institute di Amsterdam. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan informasi dan dokumentasi tentang posisi perempuan di zaman kolonial. Sebagai tindak lanjut dari program tersebut, Meneg PP mengadakan kuliah umum “Posisi Perempuan Indonesia di Zaman Kolonial,” Jumat (19/2) di auditorium Pusat Studi Jepang Universitas Indonesia. Melalui foto-foto pilihan yang merupakan koleksi museum itu menunjukkan betapa posisi perempuan Indonesia di Zaman Kolonial layak disimak ulang.
Dalam pengantarnya, Curator Culture and History of South East Asia royal Tropical Institute, Piem Westerkamp mengatakan terdapat 62.000 koleksi foto dengan obyek dari Indonesia. Foto-foto pilihan Piem yang ditampilkan adalah hasil dokumentasi abad 19 dan abad 20 dengan keterbatasan kamera di zaman itu. Yaitu koleksi foto yang menggambarkan posisi perempuan Indonesia di zaman Kolonial; sebagai istri, budak serta Nyai.
Menanggapi foto-foto yang disajikan Piem Westerkamp, seorang penanggap yang juga sejarahwan, Mona Lohanda menyatakan, dari foto-foto yang ditampilkan tentang posisi perempuan di zaman Kolonial menonjolkan perempuan sebagai budak dan nyai. “Tapi ternyata budak yang hidup dalam rumah tangga Eropa justru mendorong lahirnya budaya indisch,” ungkap Mona. Seperti perubahan pada pakaian, makanan, jamu bahkan arsitektur.
Anggapan bahwa perempuan yang terlibat dalam kehidupan kolonial adalah budak dan nyai juga disanggah oleh Mona. Ia memaparkan, banyak tokoh-tokoh perempuan di kalangan kerajaan lokal seringkali menduduki peran terhormat. Misalnya Ratu Sarifa Fatima dari Kesultanan Banten yang sempat dibuang ke Pulau Edam (1747-1750) karena intrik politiknya, Ratu Amangkurat (ibu dari Paku Buwana II dan ibu mertua Cakraningrat IV dari Madura), Ratu Paku Buwana (nenek dari Paku Buwana II yang juga ahli sufi pengarang Suluk Garwa Kencana, tahun 1730,) dan sebagainya.
Sayangnya sejarah kemampuan dan kejayaan perempuan Indonesia tak terukir secara rinci dalam dokumentasi sejarah Indonesia. Kendati begitu, Mona mengatakan bahwa dalam masa revolusi perempuan menjadi bagian dalam masyarakat Indonesia yang tidak pernah terisolasi. “Sejarah kaum perempuan adalah untuk membarui pemahaman kita akan sejarah selengkapnya,” pungkas Mona. **
Tidak ada komentar:
Posting Komentar